Badan Kesehatan Dunia ( WHO ) melaporkan lebih dari 50 %
obat-obatan dari seluruh dunia diresepkan dan di konsumsi secara tidak tepat,
dan sekitar separuh orang yang mengkonsumsi obat tidak melakukannnya sesuai
petunjuk. Bentuk ketidak tepatan ini
adalah penggunaan yang berlebihan ( overuse
) atau sebaliknya, kurang ( underuse ),
dan penyalah gunaan ( misuse ) obat.
IRUM berlawanan dengan RUM (Rational Use
of Medicine), yaitu penggunaan obat-obatan yang tepat, sesuai indikasi, serta menurut pemakaian dosis dan
penggunaan waktu yang sesuai, dengan biaya yang di keluarkan oleh pasien (
konsumen kesehatan ) serendah mungkin.
Bentuk-bentuk IRUM yang sering terjadi antara lain,
polifarmasi ( menggunakan banyak obat ), overuse
antibiotic dan obat suntik, ketidaksesuain antara obat yang diresepkan
dengan panduan pengobatan ( guidelines ),
dan pasien yang membeli dan mengonsumsi sendiri obat tanpa konsultasi dokter.
Data dari WHO menyimpulkan, hanya kurang dari 40 % paien
yang ditangani di layanan kesehatan primer milik pemerintah ( misalnya
Puskesmas ) yang sesuai guidelines
dan 30 % di layanan kesehatan swasta. Sebanyak lebih dari 40 % anak
yang mengalami diare akut ( umumnya
akibat infeksi virus ) mendapatkan antibiotik yang tidak perlu, dan 60 %
penderita infeksi saluran napas atas akibat virus di berikan antibiotik.
Di Indonesia sendiri, menurut penelitian WHO pada 2005
menunjukan, 50% resep di Puskesmas dan RS di Indonesia mengandung antibiotik.
Yayasan Orang Tua Peduli ( YOP ) sebuah lembaga nirlaba , pernah melakukan
penelitian yang menyimpulkan anak-anak yang mengalami infeksi virus mendapatkan tiga hingga lima
obat yang biasanya diracik dalam satu puyer dan dikategorikan sebagai
polifarmasi.
Meracik beberapa obat dalam satu sediaan kerapkali tidak
memperhatikan interaksi antar obat dan cenderung berlebihan dalam mengatasi satu
diagnosis yang sebenarnya merupakan infeksi virus dan akan sembuh dengan
sendirinya.
Umpamanya, anak yang didiagnosis selesma mendapatkan satu
racikan puyer berisi :
Anthistamin
(
ditujukan untuk meredakan gejala bersin, padahal mekanisme bersin dan produksi
ingus pada selesma bukan karena alergi ), antitusif seperti dekstrometorfan (
penekan reflex batuk tidak diizinkan penggunaanya pada anak, karena justru
membuat lender sukar dikeluarkan dan
anak menjadi sesak), dekongestan atau pelega hidung tersumbat seperti
pseudoefedrin ( mempunyai efek samping jantung berdebar-debar), mukolitik atau
pengencer dahak seperti ambroksol (efektifitasnya tidak lebih baik dari
banyakminum air), dan kadang ditambahkan steroid ( anti radang seperti
prednisone atau deksametason ) serta antikejang ( anak demam dikhawatirkan
kejang, padahal sangat jarang, dan obat jenis ini cenderung menimbulkan kantuk
).
Kalau di hitung , ada enam obat yang dicampurkan dalam
satu sediaan ! Cara mencampurnya pun umum disatu lumpang yang belum tentu bersih dari racikan obat
pasien sebelumnya, dan di bagi-bagi dengan “ mata telanjang “ secara subjektif
dari satu kertas puyer ke kertas puyer lainnya.
Selesma tidak membutuhkan obat spesifik apalagi
antibiotic, karena bukan infeksi bakteri . Obat-obat simtomatik juga tak perlu,
karena tidak terbukti membantu pemulihan. Hanya obat pereda demam ( antipretik
) yang dinilai membantu.
Resiko terberatnya resistensi antibiotik-kondisi ketika
antibiotic yang diberikan tidak lagi berhasil mengatasi infeksi bakteri ,
karena bakteri tersebut sudah kebal. Kuman yang kebal ini sering di sebut
“superbug”, dan meningkatkan resiko
kematian di masyarakat. Maka, pemberian antibiotic berlebihan yang tidak pada
tempatnay menciptakan superbugs baru,
meskipun antibiotik lainnya di anggap lebih canggih selalu di berikan.
Antibiotika adalah segolongan senyawa, baik alami maupun sintetik,
yang mempunyai efek menekan atau menghentikan suatu proses biokimia di dalam organisme, khususnya dalam proses infeksi oleh bakteri.
Antibiotika berbeda dengan desinfektan karena cara kerjanya. Desinfektan
membunuh kuman dengan menciptakan lingkungan yang
tidak wajar bagi kuman untuk hidup.
Tidak
seperti perawatan infeksi sebelumnya, yang menggunakan racun seperti strychnine, antibiotika
dijuluki "peluru ajaib":obat yang
membidik penyakit tanpa melukai tuannya. Antibiotik tidak efektif menangani
infeksi akibat virus, jamur, atau nonbakteri lainnya, dan
setiap antibiotik sangat beragam keefektifannya dalam melawan berbagai jenis
bakteri. Ada antibiotika yang membidik bakteri gram negatif atau gram
positif, ada pula yang spektrumnya lebih luas. Keefektifannya juga bergantung
pada lokasi infeksi dan kemampuan antibiotik mencapai lokasi tersebut.
Antibiotika
oral (yang dimakan) mudah digunakan bila efektif, dan antibiotika intravena
(melalui infus) digunakan untuk kasus yang lebih serius.
Antibiotika
kadang kala dapat digunakan setempat, seperti tetes mata dan salep.
Berbagai
Jenis Antibiotik
Dari
100 zat antibiotik yang diproduksi secara alami dan sintetis, sangat sedikit
yang telah terbukti aman dan efektif.
Salah
satunya adalah dengan mengklasifikasikan antibiotik berdasarkan efek pada
bakteri.
Jenis
ntibiotik yang dikategorikan berdasarkan struktur kimia adalah sebagai berikut:
1.
Penisilin (Penicillins)
Penisilin
atau antibiotik beta-laktam adalah kelas antibiotik yang merusak dinding sel
bakteri saat bakteri sedang dalam proses reproduksi.
Antibiotik
ini digunakan untuk mengobati infeksi yang berkaitan dengan kulit, gigi, mata,
telinga, saluran pernapasan, dll.
Sebagian
orang mungkin mengalami alergi terhadap penisilin dengan keluhan ruam atau
demam karena hipersensitivitas terhadap antibiotik.
Seringkali
penisilin diberikan dalam kombinasi dengan berbagai jenis antibiotik lainnya.
2.
Sefalosporin (Cephalosporins)
Sefalosporin,
seperti penisilin, bekerja dengan mengganggu pembentukan dinding sel bakteri
selama reproduksi.
Namun,
antibiotik ini mampu mengobati berbagai infeksi bakteri yang tidak dapat
diobati dengan penisilin, seperti meningitis, gonorrhea, dll.
Dalam
kasus dimana orang sensitif terhadap penisilin, maka sefalosporin bisa
diberikan sebagai alternatif.
Namun,
dalam banyak kasus, ketika seseorang alergi terhadap penisilin, maka
kemungkinan besar dia akan alergi terhadap sefalosporin juga.
Ruam,
diare, kejang perut, dan demam adalah efek samping dari antibiotik ini.
3.
Aminoglikosida (Aminoglycosides)
Jenis antibiotik ini menghambat
pembentukan protein bakteri.
Meskipun efektif dalam mengobati
bakteri penyebab infeksi, terdapat risiko bakteri semakin tahan terhadap
antibiotik ini.
Aminoglikosida juga diberikan dalam
kombinasi dengan penisilin atau sefalosporin.
Aminoglikosida efektif mengendalikan
dan mengobati infeksi bakteri, namun berpotensi melemahkan ginjal dan fungsi
hati.
4.
Makrolida (Macrolides)
Sama seperti sebelumnya, antibiotik
ini mengganggu pembentukan protein bakteri.
Makrolida mencegah biosintesis protein
bakteri dan biasanya diberikan untuk mengobati pasien yang sangat sensitif
terhadap penisilin.
Makrolida memiliki spektrum lebih luas
dibandingkan dengan penisilin dan digunakan untuk mengobati infeksi saluran
pernafasan, infeksi saluran lambung, dll.
Ketidaknyamanan pencernaan, mual, dan
diare adalah beberapa efek samping dari makrolida.
5. Sulfonamida (Sulfonamides)
Obat ini efektif mengobati infeksi
ginjal, namun sayangnya memiliki efek berbahaya pada ginjal.
Salah satu obat sulfa yang paling
sering digunakan adalah gantrisin.
6.
Fluoroquinolones
Fluoroquinolones adalah satu-satunya
kelas antibiotik yang secara langsung menghentikan sintesis DNA bakteri.
Antibiotik ini dianggap relatif aman
dan banyak digunakan untuk mengobati infeksi saluran kemih dan saluran
pernapasan.
Itu sebab, obat ini tidak direkomendasikan
untuk wanita hamil atau anak-anak.
7. Tetrasiklin (tetracyclines) dan
polipeptida (polypeptides)
Tetrasiklin adalah antibiotik spektrum
luas yang digunakan untuk mengobati berbagai infeksi seperti infeksi telinga
tengah, saluran pernafasan, saluran kemih, dll.
Pasien dengan masalah hati harus
hati-hati saat mengambil tetrasiklin karena dapat memperburuk masalah.
Ketika disuntikkan ke dalam kulit,
polipeptida bisa menyebabkan efek samping seperti kerusakan ginjal dan saraf.
Pasien dengan masalah
hati harus hati-hati saat mengambil tetrasiklin karena dapat memperburuk
masalah.
Polipeptida dianggap
cukup beracun sehingga terutama digunakan pada permukaan kulit saja.
Ketika disuntikkan ke
dalam kulit, polipeptida bisa menyebabkan efek samping seperti kerusakan ginjal
dan saraf.

0 Komentar